KEPADATAN DAN KESESAKAN
Kepadatan (densitiy) dan kesesakan (crowding) merupakan fenomena yang akan menimbulkan permasalahan bagi setiap negara di dunia di masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan terbatasnya luas bumi dan potensi sumber daya alam yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia, sementara perkembangan jumlah manusia di dunia tidak terbatas.
Kesesakan dan kepadatan yang timbul dari perkembangan jumlah manusia di dunia pada masa kini telah menimbulkan berbagai masalah sosial di banyak negara misalnya : Indonesia, India, Cina, dan sebagainya), baik permasalahan yang bersifat fisik maupun psikis dalam perspektif psikologis. Contoh permasalahan sosial yang nyata dalam perspektif psikologis dari kesesakan dan kepadatan penduduk adalah semakin banyaknya orang yang mengalami stres dan berperilaku agresif destruktif.
Kepadatan (density) dan kesesakan (crowding) adalah dua dari beberapa konsep gejala persepsi manusia terhadap lingkungannya. kedua konsep ini saling berhubungan dan berkaitan satu sama lainnya sehingga sering di bahas bersamaan. Kepadatan tidak selalu mengakibatkan kesesakan, namun apabila kepadatan yang dirasakan berakibat pada rasa sesak dapat timbul kejengkelan dan ketidaknyamanan sehingga umumnya seseorang akan mengeluh akibat kesesakan yang dirasakan.
Gifford (dalam Zuhriyah, 2007), menyatakan bahwa kesesakan adalah perasaan subjektif akan terlalu banyaknya orang di sekitar individu. Kesesakan mungkin berhubungan dengan kepadatan yang tinggi, tetapi kepadatan bukanlah syarat mutlak untuk menimbulkan kesesakan. Persepsi kepadatan adalah perkiraan individu tentang kepadatan suatu ruang, tetapi korelasi antara persepsi kepadatan yang dirasakan individu dengan ukuran kepadatan yang sesungguhnya sangat rendah. Kesesakan dipengaruhi oleh karakteristik individu dan situasi sosial. Individu mungkin merasa sesak dalam sebuah ruang luas yang hanya diisi oleh dua orang tetapi tidak merasa sesak ketika berada di antara ribuan orang lain dalam sebuah konser musik.
Beberapa pakar membedakan antara kepadatan dengan kesesakan secara teoritis (dalam Zuhriyah, 2007). Heimstra menyatakan bahwa pada dasarnya kepadatan merupakan konsep fisik, sedangkan kesesakan adalah konsep psikologis. Stokols & Altman, membatasi kepadatan dalam arti fisik, yakni jumlah orang atau hewan per unit ruang. Dalam pandangan pakar tersebut, kepadatan tidak memiliki arti psikologis yang melekat. Di sisi lain kesesakan adalah keadaan psikologis (bukan variabel fisik), bersifat pribadi atau merupakan reaksi subjektif yang didasari oleh perasaan akan terlalu sedikitnya ruang yang tersedia. Suatu situasi yang diterima sebagai rasa sesak bergantung tidak hanya pada jumlah orang yang hadir (yaitu kepadatan) tetapi juga pada bermacam-macam kepribadian, sosial dan variabel-variabel lingkungan (dalam Zuhriyah, 2007).
Menurut Sarwono (dalam Sarwono, 1995), hubungan antara kepadatan dan kesesakan mempunyai dua ciri, antara lain:
1. Kesesakan adalah persepsi terhadap kepadatan dalam artian jumlah manusia. Kesesakan berhubungan dengan kepadatan (density), yaitu banyaknya jumlah manusia dalam suatu batas ruang tertentu. Makin banyak jumlah manusia berbanding luasnya ruangan, makin padatlah keadaannya.
2. Kesesakan adalah persepsi maka sifatnya subjektif. Individu yang sudah biasa naik bus yang padat penumpangnya, mungkin sudah tidak merasa sesak lagi (density tinggi tetapi crowding rendah). Sebaliknya, individu yang biasa menggunakan kendaraan pribadi, bisa merasa sesak dalam bus yang setengah kosong (density rendah tapi crowding tinggi).
Stokols (dalam Zuhriyah, 2007), menyatakan bahwa density adalah kendala keruangan (spatial constraint), sedangkan crowding adalah respons subjektif terhadap ruang yang sesak (tight space). Kepadatan memang merupakan syarat yang diperlukan untuk timbulnya persepsi kesesakan, tetapi bukanlah syarat yang mutlak harus ada.
Para peneliti yang mempelajari pengaruh rasa sesak menyimpulkan perlunya membedakan ukuran kepadatan populasi yang objektif dengan perasaan sesak yang subjektif. Kepadatan sosial adalah jumlah orang yang secara objektif berada dalam suatu ruang tertentu. Kepadatan dapat diukur melalui jumlah orang per kaki persegi. Rasa sesak adalah perasaan sempit dan tidak memiliki cukup ruang yang bersifat subjektif. Berdasarkan definisi itu, kepadatan bisa bersifat menyenangkan, tetapi kesesakan selalu bersifat negatif dan tidak menyenangkan. Rasa sesak adalah keadaan psikologis yang menekan dan tidak menyenangkan, yang dikaitkan dengan keinginan untuk memperoleh lebih banyak ruang daripada yang telah diperoleh.
KATEGORI KEPADATAN
Altman (dalam Zuhriyah, 2007), membagi kepadatan menjadi kepadatan sosial dan kepadatan ruang. Di sebuah ruang pertemuan yang padat dengan pengunjung, misalnya, kepadatan itu bisa disebabkan persepsi bahwa jumlah undangan terlalu banyak untuk ruangan itu (kepadatan sosial). Reaksi individu terhadap kedua jenis kepadatan itu bisa berbeda. Dalam hal kepadatan ruang, reaksinya mungkin keluar dari ruangan dan mencari tempat lain di sekitar ruangan yang masih agak lega, sedangkan dalam hal kepadatan sosial mungkin individu akan pulang saja karena merasa bahwa jika tidak hadir dalam pertemuan itu tuan rumah juga tidak akan mencari-cari. Altman juga membedakan kepadatan di dalam rumah (inside density) dan di luar rumah (outside density). Kepadatan di dalam rumah menunjuk pada jumlah individu perunit ruang dalam sebuah tempat tinggal sedang kepadatan di luar rumah menunjuk pada jumlah individu dalam unit ruang yang lebih luas seperti misalnya jalan.
Jain (dalam Prabowo, 1998) menyatakan bahwa setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit tinggal pada setiap struktur hunian dan struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman dapat dikatakan mempunyai kepadatan tinggi atau kepadatan rendah.
Zlutnick dan Altman (dalam Prabowo, 1998) menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukkan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman, yaitu :
a. Lingkungan pinggiran kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah
b. Wilayah desa miskin kepadatan dalam tinggi sedangkan kepadatan luar rendah
c. Lingkungan mewah perkotaan, di mana kepadatan dalam rendah sedangkan kepadatan luar tinggi
d. Perkampungan kota yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang tinggi
Taylor (dalam Prabowo, 1998) mengatakan bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal seseorang di suatu tempat tinggal. Oleh karena itu individu yang bermukim di pemukiman dengan kepadatan yang berbeda mungkin menunjukkan sika pdan perilaku yang berbeda pula.
AKIBAT KEPADATAN TINGGI
Rumah dan lingkungan pemukiman akan memberi pengaruh psikologis pada individu yang menempatinya. Rumah dan lingkungan pemukiman yang memiliki situsi dan kondisi yang baik dan nyaman seperti memiliki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi akan memberikan kepuasan psikis pada individu yang menempatinya.
Rumah merupakan lingkungan yang paling dekat dan penting bagi manusia karena hampir setengah dari hidupnya dihabiskan di rumah. Parwati (dalam Hasnida, 2002) mengatakan bahwa fungsi rumah bagi orang hidup semakin penting, di samping tempat berlindung, rumah juga berfungsi sebagai tempat berlangsungnya proses dimana seorang individu diperkenalkan kepada nilai-nilai, adat kebiasaan, yang berlaku dalam masyarakat, juga rumah berfungsi sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup.
Pada umumnya, rumah dengan luas lantai yang sempit dan terbatas apabila dihuni oleh banyak orang, akan menimbulkan pengaruh negatif pada penghuninya. Hal ini terjadi karena dalam rumah tinggal yang terbatas umumnya individu tidak memiliki ruang atau tempat yang dapat dipakai untuk kepentingan pribadi. Keterbatasan ruang memungkinkan individu sering harus bertemu dan berhubungan dengan orang lain baik secara fisik maupun verbal, sehingga individu memperoleh masukan yang berlebihan. Keadaan tersebut dapat menyebabkan individu merasa tidak mampu mengolah dan mengatur masukan yang diterima. Individu menjadi terhambat untuk memperoleh apa yang diinginkannya. Keadaan tersebut pada akhirnya menimbulkan perasaan sesak pad individu penghuni rumah tinggal tersebut.
Kepadatan tinggi merupakan stressor lingkungan yang dapat menimbulkan kesesakan bagi individu yang berada di dalamnya. Stresor lingkungan, menurut Stokols (dalam Prabowo, 1990), merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stres, penyakit, atau akibat-akibat negatif pada perilaku masyarakat.
Menurut Heimstra dan Mc Farling (dalam Prabowo, ) kepadatang memberikan akibat bagi manusia baik secara fisik, sosial maupun psikis.
a. Akibat fisik
Reaksi fisik yang dirasakan individu seperti peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan penyakit fisik lain.
b. Akibat sosial
Adanya masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat seperti meningkatnya kriminalitas dan kenakalan remaja.
c. Akibat psikis
· Stres, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negatif, rasa cemas, stres dan perubahan suasana hati.
· Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
· Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau meberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal.
· Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu.
· Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi.
REAKSI KESESAKAN
Kesesakan biasanya menimbulkan stres secara fisik maupun psikis. Biasanya stres ini terjadi pada individu yang menyukai jarak antarpribadi yang lebar atau menyukai kesendirian. Menurut Gifford (dalam Zuhriyah, 2007), kesesakan yang dirasakan individu dapat menimbulkan reaksi-reaksi pada:
a. Fisiologis dan kesehatan
Beberapa penelitian menyatakan bahwa kesesakan yang dialami dapat berdampak pada fisiologis tubuh seperti peningkatan tekanan darah dan denyut jantung. Selain peningkatan tekanan darah dan detak jantung, kesesakan yang dialami dapat menyebabkan penyakit fisik berupa psikosomatik seperti gangguan pencernaan, gatal-gatal bahkan kematian (dalam Sarwono, 1995)
b. Penampilan kerja
Reaksi kesesakan berkaitan dengan penampilan kerja tergantung pada jenis pekerjaan yang dilakukan. Kepadatan yang tinggi lebih mempengaruhi pekerjaan yang bersifat kompleks daripada pekerjaan yang sederhana, selain itu individu yang yakin mampu menyelesaikan tugasnya dalam kepadatan yang tinggi tetap dapat menampilkan performa kerja yang lebih baik daripada individu yang tidak yakin dengan kemampuannya.
c. Interaksi sosial
Kepadatan yang tinggi mempengaruhi aspek tingkah laku sosial yakni ketertarikan sosial, agresi, kerja sama, penarikan diri, tingkah laku verbal dan non verbal bahkan humor. Kepadatan tinggi yang tidak diinginkan individu dapat menimbulkan dampak sosial yang negatif seperti ketertarikan sosial yang menurun, agresifitas yang meningkat, menurunnya kerja sama dan penarikan diri secara sosial. Penarikan diri ini diwujudkan dengan berbagai cara seperti meninggalkan tempat, menghindari topik yang bersifat pribadi dalam perbincangan, mengucapkan kata-kata perpisahan, menunjukkan gerakan defens atau mempertahankan diri, menolak permintaan atau ajakan lawan bicara, menghindari kontak mata dan meningkatkan jarak antarpribadi.
d. Perasaan / afeksi
Kepadatan yang tinggi dapat menimbulkan emosi yang negatif seperti kejengkelan dan ketidaknyamanan akibat ruang yang didapat tidak sesuai dengan keinginan atau terhambatnya tujuan yang ingin dicapai karena kehadiran banyak orang. Emosi yang positif muncul apabila individu berhasil mengatasi rasa sesak dengan strategi penanggulangan masalah yang digunakan secara efektif.
e. Kendali dan strategi penanggulangan masalah
Kesesakan dapat menimbulkan kemampuan kontrol yang rendah, namun informasi yang jelas dan akurat berkaitan dengan situasi yang padat membantu individu memilih strategi penanggulangan masalah yang tepat untuk mengatasi kesesakan yang timbul akibat ruang yang padat. Kemampuan dalam mengembangkan strategi penanggulangan masalah pada tiap individu berbeda-beda dan dilakukan secara verbal maupun nonverbal yang pada akhirnya akan membantu individu dalam beradaptasi dengan situasi yang menimbulkan kesesakan.
ASPEK KESESAKAN
Menurut Stokols dan Sundstrom (dalam Zuhriyah, 2007) kesesakan memiliki tiga aspek yakni:
a. Aspek situasional,
Didasarkan pada situasi terlalu banyak orang yang saling berdekatan dalam jarak yang tidak diinginkan sehingga menyebabkan gangguan secara fisik dan ketidaknyamanan, tujuan yang terhambat oleh kehadiran orang-orang yang terlalu banyak, ruangan yang menjadi semakin sempit karena kehadiran orang baru ataupun kehabisan ide.
b. Aspek emosional
Menunjuk pada perasaan yang berkaitan dengan kesesakan yang dialami, biasanya adalah perasaan negatif pada orang lain maupun pada situasi yang dihadapi. Perasaan positif dalam kesesakan tidak dapat dipungkiri, namun perasaan ini hanya terjadi jika individu berhasil menangani rasa sesak dengan strategi penanggulangan masalah yang digunakan.
c. Aspek perilakuan,
Kesesakan menimbulkan respon yang jelas hingga samar seperti mengeluh, menghentikan kegiatan dan meninggalkan ruang, tetap bertahan namun berusaha mengurangi rasa sesak yang timbul, menghindari kontak mata, beradaptasi hingga menarik diri dari interaksi sosial.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESESAKAN
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesesakan, antara lain:
a. Faktor individu
Faktor individu terdiri atas kepribadian, minat dan harapan-harapan individu. Faktor kepribadian meliputi kemampuan kontrol dalam diri individu. Kendali diri internal yakni keyakinan bahwa segala sesuatu yang terjadi lebih dipengaruhi oleh diri individu sendiri dapat membantu individu menghadapi stres akibat kesesakan yang dirasakan. Minat berkaitan dengan kecenderungan berafiliasi atau bersosialisasi. Individu yang memiliki ketertarikan terhadap individu lain dalam ruangan yang padat akan memiliki toleransi terhadap kesesakan yang lebih tinggi daripada individu yang tidak memiliki kecenderungan untuk berafiliasi dengan individu lain dalam ruang yang padat. Harapan atau prasangka juga mempengaruhi rasa sesak yang dirasakan, individu yang berharap pertambahan orang baru hanya sedikit tidak terlalu merasa sesak dibanding individu yang menyangka pertambahan orang baru dalam ruangan akan lebih banyak dari keadaan sebenarnya. Selanjutnya, pengalaman pribadi akan mempengaruhi tingkat stres yang terjadi akibat kepadatan yang tinggi. Individu yang telah terbiasa dengan situasi yang padat akan lebih adaptif dan lebih bersikap toleran dalam menghadapi kepadatan dalam situasi baru.
b. Faktor sosial
Faktor sosial antara lain kehadiran dan tingkah laku orang yang berjarak paling dekat, koalisi yang terbentuk dalam kelompok-kelompok kecil dan informasi yang diterima individu berkaitan dengan kesesakan yang dirasakan. Hambatan terhadap tujuan yang ingin dicapai dapat menimbulkan stres. Ketika kepadatan meningkat, privasi menjadi menurun sehingga individu harus berpikir keras untuk menghadapi situasi yang menekan, gangguan secara fisik meningkat dan kemampuan kontrol dapat berkurang. Faktor sosial lain adalah kualitas hubungan diantara individu yang harus berbagi ruang. Individu yang memiliki cara pandang yang sama akan merasa cocok satu sama lain dan lebih mudah menghadapi situasi yang padat, sementara informasi yang jelas dan akurat akan membantu individu menghadapi kesesakan yang dialami.
c. Faktor fisik
Faktor fisik meliputi keadaan ruang, bangunan, lingkungan, kota, dan arsitektur bangunan seperti ketinggian langit-langit, penataan perabot, penempatan jendela dan pembagian ruang.
SOLUSI KEPADATAN DAN KESESAKAN
Pertambahan penduduk perkotaan yang semakin pesat di Indonesia merupakan kondisi yang mampu memberikan kontribusi munculnya kesesakan. Ketika manusia dihadapkan pada situasi padat, yang dapat dipersepsikan sebagai situasi yang mengancam eksistensinya, manusia melakukan adaptasi. Hal ini berarti ada hubungan interaksionistis antara lingkungan dan manusia. Lingkungan dapat mempengaruhi manusia, manusia juga dapat mempengaruhi manusia. Oleh karena bersifat saling mempengaruhi maka terdapat proses adaptasi dari individu dalam menanggapi tekanak-tekanan yang berasal dari lingkungan
Adaptasi diartikan sebagai kapasitas individu untuk mengatasi lingkungan, yang merupakan proses tingkah laku umum yang didasarkan atas faktor-faktor psikologi untuk melakukan antisipasi kemampuan melihat tuntutan di masa yang akan datang. Dengan demikian, adaptasi merupakan tingkah laku yang melibatkan perencanaan agar dapat mengantisipasi suatu peristiwa di masa yang akan datang. Pengertian adaptasi sering dibaurkan dengan pengertian penyesuaian.
Tujuan adaptasi dikatakan Berry (dalam Hasnida, 2002) untuk mengurangi disonansi dalam suatu system, yaitu meningkatkan harmoni serangkaian variable yang berinteraksi. Jika dikaitkan dengan interaksi manusia-lingkungan, disonansi dalam suatu system dapat diartikan ada ketidakseimbangan transaksi antara lingkungan dan manusia. Salah satu bentuk ketidakseimbangan tersebut adalah tuntutan lingkungan yang melebihi kapasitas manusia untuk mengatasinya. Salah satu upaya mencapai keseimbangan adalah melakukan pembiasaan terhadap stimulus yang datang secara konstan, sehingga kekuatan stimulus
melemah. Inilah yang disebut adaptasi.
Orang dikatakan mampu beradaptasi secara efektif jika dalam situasi yang menekan, terjadi keseimbangan, baik dalam aspek psikis maupun fisik. Indikator strategi adaptasi yang efektif dalam situasi kepadatan sosial yang tinggi dilihat dari 3 aspek, yaitu aspek kesesakan (crowding), aspek kemampuan konsentrasi, dan aspek tekanan darah (arousal). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa adaptasi dalam situasi kepadatan sosial tinggi dilakukan dengan cara membiasakan diri dalam situasi kepadatan sosial tinggi sampai dicapai kondisi yang seimbang, yang tercermin dari rendahnya kesesakan, kemampuan berkonsentrasi, dan tidak terjadi arousal.
Manusia mempunyai kapasitas untuk merancang strategi yang baik dalam situasi kesesakan yaitu dengan melakukan adaptasi dengan menggunakan strategi teritorialitas dan ketrampilan masalah sosial.
· Pendekatan Teritorialitas
Pendekatan teritorialitas menitik beratkan pada pembentukan kawasan geografis untuk mencapai tingkat privasi optimal. Usaha yang dapat dilakukan misalnya dengan menyusun kembali setting fisik atau pindah ke lokasi lain. Penyusunan setting fisik dapat dilakukan dengan pembuatan tanda teritori ini pada manusia dapat diwujudan dengan menciptakan bangunan, pagar, maupun tanda-tanda alamiah.
Adakalanya orang tidak mampu atau tidak berwenang megubah setting fisik, sehingga orang harus menerima situasi tersebut. Dalam keadaan seperti ini strategi adaptasi yang dapat dilakukan dengan meningkatkan ketrampilan diri.
· Pendekatan ketrampilan diri
Salah satu bentuk ketrampilan diri yang ada pada manusia adalah kemampuan memecahkan masalah sosial, yaitu suatu proses dimana orang menyingkap, menciptakan, atau mengidentifikasikan tujuan secara efektif dari coping terhadap peristiwa yang menyebabkan stress dalam kehidupan. Proses pemecahan masalah sosial dapat dilukiskan sebagai rangkaian respon reaksi yang terdiri dari afektif, perilakuan, dan kognitif. Respon-respon tersebut meliputi serangkaian belief, asumsi, penilaian, dan terapan mengenai problem hidup dan kemampuan pemecahan masalah secara umum yang dimiliki. Lima komponen model dapat dilukiskan sebagai ketrampilan kognitif perilakuan yang membuat stress tertentu menjadi berhasil diatasi. Secara konsepsual, pelatihan dalam proses yang berorientasi pada pemecahan masalah ini akan meningkatkan motivasi dalam menerapkan lima komponen pemecahan masalah dan perasaan efikasi diri. Adapaun ke lima komponen tersebut adalah orientasi masalah, definisi masalah, mengajukan alternative, pemecahan maslah, dan solusi implementasi dan verifikasi. Berdasarkan ke lima komponen tersebut dapat disusun proram pelatihan pemecahan masalah sosial.
Dalam kaitannya dengan kepadatan sosial yang menimbulkan kesesakan, melalui pelatihan tersebut, orang dilatih untuk mendudukkan masalah pada kedudukan yang sebenarnya, bahwa kehadiran orang lain tidak selalu merupakan ancaman terhadap privasi. Karena memang seringkali terjadi distorsi dalam proses persepsi sosial akibat generalisasi berlebihan, bahwa kehadiran orang lain selalu dipersepsikan mengancam privasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1994. Hidup di Kota Semakin Sulit : Bagaimana Strategi Adaptasi dalam Situasi Kepadatan Sosial?. http://avin.staff.ugm.ac.id/data/jurnal/hidupdikota_avin.pdf. Diakses tanggal 23 Maret 2011.
Hasnida. 2002. Crowding (Kesesakan) Dan Density (Kepadatan). Sumatera Utara : Fakultas Kedokteran Program Studi Psikologi Universitas Sumatera Utara.
Prabowo, Hendro. 1998. Pengantar Psikologi Lingkungan. Depok : Universitas Gunadarma
Zuhriyah. 2007. Hubungan antara Kesesakan dengan Kelelahan Akibat Kerja pada Karyawan bagian Penjahitan Perusahaan Konveksi PT Mondrian Klaten Jawa Tengah. Skripsi. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Comments
Post a Comment