STRES LINGKUNGAN


Definisi Stres
Pada tahun 1936, Hans Selye, seorang dokter meperkenalkan sindrom adaptasi menyeluruh (general adaptation syndrome - GAS), suatu gambaran respons biologis untuk bertahan dan mengatsi stres fisik (Davison, Neale & Kring, 2006). Terdapat tiga fase dalam metode ini, antara lain :
1.      Pada fase pertama, yaitu reaksi alarm (alarm reaction), sistem saraf otonom diaktifkan oleh stres. Jika stres terlalu kuat, terjadi luka pada saluran pencernaan, kelenjar addenalin membesar, dan thimus menjadi lemah.
2.      Pada fase kedua, resistensi (resistance), organisme beradaptasi dengan stres melalui berbagai mekanisme coping yang dimiliki.
3.      Jika stresor (sumber stres) menetap atau organisme tidak mampu merespons secara efektif, terjadi fase ketiga, yaitu suatu tahap kelelahan (exhaustion) yang amat sangat, dan organisme mati atau menderita kerusakan yang tidak dapat diperbaiki.
Konsep Selye mengenai stres pada akhirnya juga digunakan dalam literatur psikologi, namun dengan perubahan mendasar dalam definisinya sehingga stres didefinisikan sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan padanya. Maka dengan kata lain istilah stres dapat digunakan untuk menunjukkan suatu perubahan fisik yang luas yang disulut oleh berbagai faktor psikologis atau faktor fisik atau kombinasi kedua faktor tersebut.
Beberpa peneliti melihat stres sebagai suatu stimulus, yang sering kali disebut sebagai stresor, dan bukan suatu respon, dan mengidentifikasikannya dengan suatu daftar panjang berbagai kondisi lingkungan, seperti kebosanan, stimuli yang tidak dapat dikendalikan, berbagai bencana kehidupan, dan masalah sehari-hari. Stimuli yang dianggap stressor dapat besar (seperti kematian orang yang dicintai), kecil (masalah sehari-hari, seperti terjebak dalam kemacetan), akut (seperti gagal dalam ujian), atau kronis (seperti lingkungan kerja yang terus-menerus tidak menyenangkan). Sebagian besar stimuli tersebut berupa pengalaman yang bagi orang-orang dirasakan tidak menyenangkan.
Pendapat lain dikemukakan oleh Sarafino (dalam Prabowo, 1998) mencoba mengkonseptualisasikan ke dalam tiga pendekatan, yaitu stimulus, respons dan proses.
1.      Stimulus
Keadaan/situasi dan peristiwa yang dirasakan mengancam atau membahayakan yang menghasilkan perasaan tegang disebut sebagai stresor. Beberapa ahli yang menganut pendekatan ini megkategorikan stresor menjadi tiga:
a.       Peristiwa katastropik, misalnya angin tornado atau gempa bumi.
b.      Peristiwa hidup yang penting, misalnya kehilangan pekerjaan atau orang yang dicintai,
c.       Keadaan kronis, misalnya hidup dalam kondisi sesak dan bising.
2.      Respons
Respon adalah reaksi seseorang terhadap stresor. Untuk itu dapat diketahui dari dua komponen yang saling berhubungan, yaitu komponen psikologis dan komponen fisiologis.
a.       Komponen psikologis, seperti perilaku, pola berpikir dan emosi.
b.      Komponen fisiologis, seperti detak jantung, sariawan, keringat dan sakit perut.
Kedua respon tersebut disebut dengan strain atau ketegangan.
3.      Proses
Stres sebagai suatu proses terdiri dari stresor dan strain ditambah dengan satu dimensi penting, yaitu hubungan antara manusia dengan lingkungan. Proses ini melibatkan interaksi dan penyesuaian diri yang kontinyu, yang disebut juga dengan istilah transaksi antara manusia dengan lingkungan, yang di dalamnya termasuk perasaan yang dialami dan bagaimana orang lain merasakannya.

Kaitan antara Stres dengan Psikologi Lingkungan
            Stres amat terkait dengan psikologi lingkungan terutama dalam hal ini adalah stres lingkungan. Dalam konteks lingkungan binaan, maka stres dapat muncul jika lingkungan fisik dan rancangan secara langsung atau tidak langsung menghambat tujuan penghuni, dan jika rancangan lingkungannya membatasi strategi untuk mengatasi hambatan tersebut, maka hal itu merupakan sumber stres. Dalam mengulas dampak lingkungan binaan terutama bangunan stres psikologis, Zimring (dalam Prabowo, 1998) mengajukan dua pengandaian.
1.      Stres dihasilkan oleh proses dinamik ketika orang berusaha memperoleh kesesuaian antara kebutuhan-kebutuhan individual sangat bervariasi sepanjang waktu dan berbagai macam untuk masing-masing individu.
2.      Bahwa variabel transmisi harus diperhitungkan bila mengkaji stres psikologis yang disebabkan oleh lingkungan binaan. Misalnya perkantoran, status, pengaturan ruangan, dan kualitas lain dapat menjadi variabel transmisi yang berpengaruh pada pandangan individu terhadap situasi yang dapat dipakai untuk menentukan apakah situasi tersebut menimbulkan stres atau tidak.
Di dalam membahas hubungan manusia dengan lingkungan binaan, maka pada lingkungan binaan tersebut diharapkan akan dicapai ungkapan-ungkapan arsitektur berupa pola-pola yang mempengaruhi perkembangan dan perubahan konsepsi bangunan.
Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Prabowo, 1998) mengidentifikasikan stres lingkungan sebagai ancaman-ancaman yang datang dari dunia sekitar. Setiap individu selalu mencoba untuk coping dan beradaptasi dengan ketakutan, kecemasan dan kemarahan yang dimilikinya.
Sementara itu, Baum, Singer, dan Baum (dalam Prabowo, 1998), mengartikan stres lingkungan dalam tiga faktor, yaitu :
1.      Stresor fisik (misalnya: suara).
2.      Penerimaan individu terhadao stresor yang dianggap sebagai ancaman (appraisal of the stressor).
3.      Dampak stresor pada organisme (dampak fisiologis).

Peran Stres dalam Mempengaruhi Individu dalam Lingkungan
            Menurut Veitch & Arkkelin (dalam Prabowo, 1998) stres dicirikan sebagai proses yang membuka pikiran kita, sehingga kita akan bertemu dengan stresor, menjadi sadar akan bahaya, memobilisasi usaha kita untuk mengatasinya, mendorong untuk melawannya, serta yang membuat kita berhasil atau gagal dalam beradaptasi. Ketika suatu stresor kita evaluasi, kita seleksi strategi-strategi untuk mengatasinya, kita lakukan “pergerakan-pergerakan” tubuh secara fisiologis dan psikologis untuk melawan stresor, dan lalu mengatsinya dengan suatu tindakan. Jika coping behavior (perilaku penyesuaian diri) ini berhasil, maka adapatasi akan meningkat dan pengaruh stres akan menghilang. Sementara jika coping behavior gagal, maka stres akan menerus, pembangkitan fisik dan fisiologis tidak dapat dihindari sehingga penyakit fisik akan menyerang.
            Ketika tidak mengalami stres, individu umumnya menggunakan banyak waktunya untuk mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. Dalam keadaan seperti itu, ada waktu-waktu tertentu dimana kita sebenarnya justru mengalami stres. Bahkan suatu stres terkadang tidak terkait dengan masalah ketidakseimbangan (disekuilibrium). Ada waktu-waktu tertentu, dimana lingkungan menyajikan tantangan yang terlalu besar atau individu dapat menghilangkannya dengan kemampuan coping behavior. Di lain pihak, individu juga dapat mengalami keduanya. Poada kondisi inilah terjadi disekuilibrium, yang bergantung dari proses-proses fisik, psikologis dan fisiologis.
            Hal lain yang belum dibahas adalah elemen-elemen lingkungan yang dapat mempengaruhi proses terjadinya disekuilibrium maupun ekuilibrium dalam kaitan manusia dengan lingkungannya. Kita dapat merasakan suara dibawah kondisi tertentu dapat dipersepsi sebagai kebisingan. Sama halnya ketika kita menghadapi elemen-elemen lingkungan lainnya seperti atmosfir, kepadatan penduduk, rancangan arsitektur, dan produk teknologi, sehingga dapat dikatakan bahwa terdapat banyak aspek lingkungan yang dapat menciptakan stres.
            Menurut Iskandar (dalam Prabowo, 1998), proses terjadinya stres juga melibatkan komponen kognitif. Seperti skema model stres yang diadaptasi dari Selye dan Lazarus, menjelaskan bahwa faktor psikologi individual (intelektual, pengalaman lalu, pengetahuan dan motivasi) dan aspek kognitif tentang stimulus (pengontrolan persepsi, dapat diduga, kesegeraan) dalam penelitian kognitif tentang lingkungan yanh diawali oleh stimulus lingkungan, lalu dilanjutkan oleh reaksi alam proses otonom, kemudian melalui tahapan berikutnya yaitu tahapan bereaksi strategi mengatasi stres. Jika berhasil maka individu tersebut akan mengalami proses adaptasi, sedangkan jika gagal maka individu tersebut akan melalui tahapan kelelahan.
            Stres yang diakibatkan oleh kepadatan dalam ruang dengan penilaian kognitif akan mengakibatkan denyut jantung bertambah tinggi dan tekanan darah menaik, sebagai reaksi stimulus yang tidak diinginkan. Dengan kondisi tersebut, maka seseorang yang berusaha mengatasi situasi stres akan memasuki tahapan kelelahan karena energinya telah banyak digunakan untuk mengatasi situasi stres. Dalam berbagai kasus, stimulus yang tidak menyenangkan tersebut muncul berkali-kali, sehingga reaksi terhadap stres menjadi berkurang dan melemah. Proses ini secara psikologis dikatakan sebagai adaptasi. Hal ini terjadi karena sensitivitas neuropsikologis semakin melemah dan melalui penelitian kognitif situasi stres berkurang.
            Contohnya adalah bangunan perkantoran. Jika tidak memperhatikan kebutuhan fisik, psikologis dan sosial akan merupakan sumber stres bagi karyawannya. Apabila perkantoran tidak memperhatikan kenyamanan karyawannya, misalnya distribusi cahaya kurang baik, sirkulasi udara kurang baik, kebisingan, penataan ruangan ataupun peralatan kerja tidak ergonomis, maka karyawan tidak dapat bekerja secara optimal, tidah efektif, dan membuat karyawan menjadi cepat lelah. Ataupun kondisi kerja yang kurang memperhatikan faktor keselamatan dan kesehatan kerja. Hal tersebut akan membuat karyawan/pekerja menjadi selalu waspada ataupun khawatir dan akan mempengaruhi kesejahteraan fisik maupun mental karyawan. Pembangunan perkantoran yang tidak menyediakan tempat umum, yang dapat digunakan para karyawannya untuk berinteraksi satu sama lain akan membuat mereka sulit untuk berhubungan satu sama lain. Hal tersebut juga dapat merupakan sumber stres bagi para karyawan.


Daftar Pustaka:
Davison, G.C, Neale, J.M, & Kring, A.M. (2006). Psikologi Abnormal. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Prabowo, Hendro. (1998). Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok : Universitas Gundarma. 
Prabowo, Hendro. (1998). Psikologi Lingkungan. Depok : Universitas Gunadarma.

Comments

Popular posts from this blog

KEPADATAN DAN KESESAKAN

PRO KONTRA INTERNET

Keterbatasan Sosial dan Keterbatasan Fungsi Mental Anak MR