Review Jurnal Konflik Kelompok
DI
KALIMANTAN BARAT
Maria
Lamria
LATAR BELAKANG
Mengingat begitu beragamnya latar belakang dan
tingkat sosial masyarakat, maka persoalan hak dan kewajiban senantiasa muncul
menjadi konflik sosial yang berkepanjangan dan terjadi di berbagai daerah.
Konflik yang menggunakan simbol etnis, agama dan ras muncul yang mengakibatkan
jatuhnya korban jiwa dan harta bagi pihak yang bertikai. Hal ini terjadi jika
dalam hubungan tersebut terjadinya suatu kesenjangan status sosial, kurang
meratanya kemakmuran serta kekuasaan yang tidak seimbang. Kepentingan dan
keinginan-keinginan yang tidak lagi harmonis akan membawa masalah dalam
hubungan antara individu atau kelompok yang satu dengan yang lainnya.
Kerusuhan dan pertikaian yang terjadi di berbagai
daerah di Indonesia menunjukkan antara lain kurangnya kemampuan pemerintah
dalam mengatasi penyebab terjadinya konflik sosial antar masyarakat. Konflik
muncul dengan menggunakan simbol-simbol etnis, agama, dan ras. Hal ini
kemungkinan terjadi akibat adanya akumulasi "tekanan" secara mental,
spiritual, politik sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian
masyarakat. Seperti halnya konflik antar etnis yang terjadi di Kalimantan Barat,
kesenjangan perlakuan aparat birokrasi dan aparat hukum terhadap Suku Asli
Dayak dan Suku Madura menimbulkan kekecewaan yang mendalam yang meledak dalam
bentuk konflik-konflik horizontal. Masyarakat Dayak yang termarjinalisasi
semakin terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan yang diskriminatif yang
mengeksploitasi kekayaan alam mereka. Sementara penegakan hukum terhadap salah
satu kelompok tidak berjalan sebagaimana mestinya.
TUJUAN
PENELITIAN
Dari penelitian diharapkan dapat diketahui apa
penyebab dan upaya penanganan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat
terhadap konflik yang terjadi, sehingga dapat tercipta kedamaian bagi
masyarakat di daerah Kalimantan Barat.
METODOLOGI
PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan untuk mengetahui
penyebab dan upaya penanganan terhadap terjadinya konflik horizontal adalah
studi kepustakaan berupa penelaahan buku, makalah dan bentuk tulisan lainnya
yang mendukung tujuan penelitian. Data dan informasi yang didapat kemudian
diolah dengan pendekatan kualitatif yang dilakukan pada pada bulan Juli 2004.
KERANGKA TEORI
Pada negara yang memiliki keragaman suku bangsa
masalah antar suku merupakan hal yang seringkali muncul. Demikian juga
Indonesia, dalam hal ini yang dapat dijadikan suatu gambaran adalah konflik
antar etnis di Kalimantan Barat. Konflik yang timbul antara Suku Dayak dan
Madura. Kehidupan bermasyarakat Suku Dayak dam Madura memang seringkali banyak
mengalami pergesekan karena kurangnya pemahaman antar budaya dari kedua belah
pihak.
Untuk penelitian kasus yang terjadi antara kedua
suku ini akan digunakan teori konflik Simon Fisher dan Deka Ibrahim dkk (Th.
2002).
Teori
Kebutuhan Manusia : “berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan
oleh kebutuhan dasar manusia- fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau
yang dihalangi”.
Teori
Identitas : “berasumsi bahwa konflik disebabkan oleh karena identitas yang
terancam yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan dimasa
lalu yang tidak terselesaikan”.
ANALISA
PENYEBAB KONFLIK DAYAK DAN MADURA
Kebudayaan yang berbeda seringkali dijadikan dasar
penyebab timbulnya suatu konflik pada masyarakat yang berbeda sosial budaya.
Demikian juga yang terjadi pada konflik Dayak dan Madura yang terjadi pada
akhir tahun 1996 yaitu terjadinya kasus Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang
(sebelum pertengahan tahun 1999 termasuk Kabupaten Sambas), di Kalimantan
Barat. Dalam berkomunikasi penduduk yang heterogen ini menggunakan bahasa
Indonesia atau Melayu sebagai bahasa sehari-hari. Tetapi karena tingkat
pendidikan mereka rendah, kebanyakan mereka memakai bahasa daerahnya
masing-masing. Dengan demikian seringkali ditemui kesalahpahaman di antara
mereka. Hukum adat memegang peranan penting bagi orang Dayak. Perilaku dan
tindakan masyarakat pendatang khususnya orang Madura menimbulkan sentimen
sendiri bagi orang Dayak yang menganggap mereka sebagai penjarah tanah mereka.
Ditambah lagi dengan keberhasilan dan kerja keras orang Madura menelola tanah
dan menjadikan mereka sukses dalam bisnis pertanian.
Kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi merupakan dasar
dari munculnya suatu konflik. Masyarakat Dayak juga mempunyai suatu ciri yang
dominan dalam mata pencarian yaitu kebanyakan bergantung pada kehidupan bertani
atau berladang. Perilaku orang Madura terhadap orang Dayak dan keserakahan
mereka yang telah menguras dan merusak alamnya menjadi salah satu dasar pemicu
timbulnya konflik diantara mereka. Ketidakcocokan di antara karakter mereka
menjadikan hubungan kedua etnis ini mudah menjadi suatu konflik. Ditambah lagi
dengan tidak adanya pemahaman dari kedua etnis terhadap latar belakang sosial
budaya masing-masing etnis. Ketidakadilan juga dirasakan oleh masyarakat Dayak
terhadap aparat keamanan yang tidak berlaku adil terhadap orang Madura yang
melakukan pelanggaran hukum. Permintaan mereka untuk menghukum orang Madura
yang melakukan pelanggaran hukum tidak diperhatikan oleh aparat penegak hukum.
Hal ini pada akhirnya orang Dayak melakukan kekerasan langsung terhadap orang
Madura, yaitu dengan penghancuran dan pembakaran pemukiman orang Madura.
Selanjutnya Simon
Fisher dkk, mengajukan suatu konsep tentang arti kekerasan sebagai suatu
pendekatan dalam intervensi konflik yang menyebutkan bahwa konflik adalah fakta
kehidupan yang dapat memunculkan permasalahanpermasalahan berat saat kekerasan
muncul dalam konflik tersebut. Oleh karenanya dapat dibedakan antara kelompok
yang menghendaki kekerasan sebagai penyelesaian konflik dan kelompok yang anti
kekerasan.
Menganalisa lebih
lanjut tentang konflik horizontal yang terjadi pada beberapa wilayah di
Indonesia, seperti konflik Dayak dan Madura dihubungkan dengan teori Simon
Fisher, dapat dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat di daerah konflik
cenderung memilih jalan kekerasan sebagai alternatif penyelesaian masalah yang
muncul di antara mereka. Mereka menganggap cara ini lebih membuat pihak lawan
memenuhi keinginan mereka.
Menyimak lebih jauh
tentang konflik horizontal yang juga disebut sebagai konflik etnis yang
bersifat laten (tersembunyi) yang harus diangkat ke permukaan agar dapat
ditangani secara efektif. Konflik yang dipicu oleh persoalan yang sederhana,
menjadi kerusuhan dan di identifikasi pemicu pecahnya konflik adalah : adanya
benturan budaya etnis lokal dengan etnis pendatang, lemahnya supremasi hukum,
adanya tindak kekerasan. Benturan budaya ini sebenarnya lebih banyak disebabkan
oleh kesombongan dan ketidakpedulian etnis Madura terhadap hukum adat dan
budaya lokal yang sangat dihormati masyarakat setempat seperti hak atas
kepemilikan tanah.
PENANGANAN YANG DILAKUKAN
Lemahnya supremasi
hukum terlihat dari perlakuan yang ringan diberikan pada masyarakat Madura.
Dalam hal ini untuk menghindari keadaan yang lebih tidak terkendali lagi
seperti terjadinya tindakan kekerasan, pembunuhan, pembakaran dan pengusiran
yang berkepanjangan, maka untuk sementara waktu orang Dayak menyatakan sikap
yaitu :
1. Untuk
etnis Madura yang masih berada di wilayah Kalimantan Barat agar secepatnya
dikeluarkan atau diungsikan demi keselamatan dan keamanan mereka.
2. Menolak
pengembalian pengungsi etnis Madura untuk batas waktu yang tidak ditentukan.
Sikap ini ditanggapi
positif oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat karena adanya keterbatasan
aparat yang tidak dapat menjangkau seluruh wilayah Propinsi Kalimantan, maka
demi keamanan kedua belah pihak untuk sementara suku Madura harus dilokalisir
pada daerah yang lebih aman. Selain itu dalam upaya penanganan konflik yang
terjadi ini dilakukan juga beberapa cara yaitu :
1. Untuk
sementara waktu, etnis Dayak dan Melayu sepakat tidak menerima kembali etnis
Madura di bumi Kalimantan terutama di daerah konflik.
2. Rehabilitasi
bangunan infrastruktur masyarakat umum agar dapat berjalannya kegiatan
masyarakat sebagaimana mestinya. Moral dan mental masyarakat juga perlu
mendapat perhatian dan pembinaan agar terwujud suatu rekonsiliasi yang damai
dan melibatkan kembali seluruh tokoh masyarakat;
3.
Re-evakuasi dilakukan bagi korban
konflik ke daerah yang lebih aman.
4.
Dialog antar etnis yang berkesinambungan
dengan memanfaatkan lembaga adat masyarakat perlu dilakukan dalam proses pembentukan
kerjasama mengakhiri konflik yang berkepanjangan;
5.
Penegakkan hukum terhadap pelaku
pelanggaran hukum perlu dilakukan secara konsisten dan adil tanpa berpihak pada
etnis tertentu selain itu kemampuan personil petugas keamanan perlu
ditingkatkan.
KESIMPULAN
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyebab
terjadi konflik adalah kurangnya pemahaman terhadap sosial budaya masing-masing
suku yang berbeda antara suku Dayak dan Madura. Selain itu kurang
diperhatikannya peranan masyarakat setempat dalam kegiatan perekonomian di
wilayah mereka, sehingga timbul diskriminasi terhadap suku Dayak sebagai suku
Asli setempat. Selain itu dalam sejarah konflik di Kalimantan secara umum
dipicu oleh dipraktekkannya tindak kekerasan baik dalam bentuk penganiayaan dan
pembunuhan manusia di daerah konflik. Hal ini didukung juga dengan lemahnya
supremasi hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Alqadarie Syarief I. (2000). Laporan Akhir Hasil
Penelitian Pertikaian antar Komunitas Madura Kalimantan Barat dengan Dayak
1996/97 dan antara Komunitas Madura Sambas dengan Melayu Sambas Tahun 1998/1999
di Kalimantan Barat. Kerjasama Yayasan Ilmu-ilmu Sosial Jakarta-dengan Fisipol
Untan-Pontianak.
Fisher Simon, Ibrahim Dekka, dkk. (2002) “Working
with conflict’ : Skill & Strategies for Action. New York.Responding To
Conflict.
Jurnal Hukum dan Pemikiran Nomor I, Tahun 2 Januari-
Juni 2002.
Laporan Khusus Gubernur Kalimantan Barat 1997.
Soekanto Soeryono; 1990. Suatu Pengantar.
Raja Wali Press, Jakarta.
Sunaryo Thomas. “Manajemen Konflik dan Kekerasan”.
Makalah pada Sarasehan tentang Antisipasi Kerawanan Sosial di DKI Tanggal 15-17
September 2002.
DINAMIKA KONFLIK ETNIS
DAN AGAMA
DI LIMA WILAYAH KONFLIK
INDONESIA
Rusmin Tumanggor
Jaenal Aripin dan Imam Soeyoeti
LATAR BELAKANG
Selama
berabad-abad sampai masa Orde Baru, suku bangsa dan penganut agama di Indonesia
umumnya hidup rukun tanpa benturan yang berarti. Tiba-tiba pada masa reformasi,
konflik kesukubangsaan, agama, pelapisan masyarakat, sepertinya ikut mengusik
kerukunan. Hal ini ditandai dengan munculnya konflik horizontal yang melibatkan
agama dan suku/etnis di beberapa wilayah Indonesia, seperti; Kalimantan Barat
dan Tengah, Sulawesi Tengah, Maluku Selatan dan Utara, serta daerah-daerah
lainnya
Fokus
penelitian ini adalah untuk menjaring konsepsi berbagai etnis, agama, dan
pelapisan masyarakat tentang konflik dan kedamaian, termasuk konsepsi mereka
tentang hak dan kewajiban pemerintah dalam menjalankan fungsinya sebagai payung
bagi seluruh etnis, agama, dan pelapisan masyarakat. Hal ini berdasarkan
hipotesis bahwa; kerusuhan di berbagai
wilayah tanah air dalam persepsi berbagai etnis, agama, dan pelapisan
masyarakat berhubungan dengan kesenjangan sosial ekonomi, keagamaan, perilaku
antaretnis, kurangnya peran lembaga sosial pemerintah, keberpihakan aparat
dalam menyelesaikan kerusuhan, di sisi lain keikutsertaan mereka memicu
kerusuhan itu . Untuk menguji hipotesis ini, teori yang digunakan adalah; teori
fungsional Talcott Parsons, teori konflik Dahrendrof kebalikan teori kohesi
Malinowski, dan teori kebudayaan dominant Parsudi Suparlan.
Teori
fungsional Talcot Parson: Tertib sosial
ditentukan hubungan timbal balik antara sistem-sistem kebudayaan, sosial dan
kepribadian. Teori Dahrendorf menyatakan konflik
sebagai kegalauan yang bersumber dari ketidakserasian esensi bermacam komponen
kehidupan. Kebalikannya adalah teori kohesi dari Malinowski: Keutuhan akan terjadi bila satu wilayah
kehidupan dilandasi secara kuat oleh
keuntungan timbal balik reciprocity dibawah prinsip-rinsip legal. Selanjutnya Teori
kebudayaan dominan dari Edwar Bruner diketengahkan Parsudi Suparlan: Kemampuan penyesuaian terhadap kebudayaan
yang telah mapan.
METODE PENELITIAN
Dalam
penelitian ini, pengumpulan data dilakukan di kawasan rusuh maupun yang aman
mulai dan sesudah Mei 1998 serta menganalisa kondisi dan kontribusi Pemerintah
Pusat ke Daerah dalam hal tersebut. Penelitian ini diadakan di lima wilayah,
yakni; Sambas (Kalimantan Barat), Sampit (Kalimantan Tengah), Poso (Sulawesi
Tengah), Ambon (Maluku Selatan ), dan Ternate (Maluku Utara).
Data
yang dicari meliputi pendapat, kesaksian, dokumen, tulisan tentang etnis serta
agama masyarakat pembauran lintas etnis dan agama tersebut. Dilakukan dengan
menggunakan tehnik wawancara mendalam, sementara dokumen dan tulisan tentang
etnis dilakukan dengan observasi dan analisa kritis.
Informan
terdiri dari tokoh-tokoh adat, pemuka agama, cerdik pandai, warga masyarakat
biasa, pemda setempat, pihak keamanan, pengurus pemuda di samping organisasi
berbagai etnis dan agama yang ada di kawasan tersebut. Seluruhnya berjumlah 50
orang
Masing-masing
wilayah memiliki beberapa agama, suku, mata pencaharian dan world view yang berbeda. Khusus dari
kedua kawasan yang berbeda keamanannya ini diupayakan kiat kunci world view masing-masing sehingga terjawab sumber konflik dan sebaliknya
modal kedamaian sosial di kawasan itu. Data dikumpul lewat kuesioner dan
didukung interview terhadap 400 responden yang akhirnya mengembalikan jawaban
sebanyak 382 orang. Data yang dikumpulkan meliputi data esensi dan substantif.
Karena itu pendekatan datanya adalah kualitatif. Namun demikian diawali dengan
pengumpulan data kuantitatif untuk mendapatkan data jaringan fenomena yang
saling terkait serta memudahkan secara sistematis melacak data kualitatif.
Pendekatan sumber datanya adalah emic (Idea yang tumbuh dari pendukung
kehidupan etnis serta agama yang hidup di kawasan itu). Adapun etic (pemikiran
analisa kritis akademisi dan cendekiawan) hanya akan digunakan pada tingkat
kajian teoritis dan model implementasi.
HASIL
PENELITIAN
Latar
Belakang dan Penyebab Terjadinya Konflik
Pada
umumnya konflik di kelima wilayah itu terjadi akibat distribusi baik ekonomi,
sosial dan politik yang dianggap tidak adil bertepatan dengan perbedaan
identitas. Sesuai data yang berhasil dihimpun peneliti mengatakan dimana
menurut responden, umumnya konflik yang terjadi sangat kuat dipengaruhi oleh
isu identitas (etnis dan agama) dan isu distribusi. Sebesar 26,4% responden di
lima wilayah konflik menyatakan bahwa penyebab konflik dan keretakan
hubungan antar warga adalah karena
perbuatan atau sikap kelompok identitas (etnis/agama) tertentu yang menyinggung
harga diri dan rasa keadilan kelompok identitas (etnis/agama) lainnya. Penghinaan
atas keyakinan (agama) dan suku tertentu juga menjadi penyebab konflik yang
cukup dominan, terlihat dari jawaban responden sebesar 19,4 % dan 16,5%.
Sementara itu, penguasaan lapangan pekerjaan juga turut menjadi faktor utama
yang menyebabkan terjadinya konflik, sebesar 15,6%.
Dalam
kenyataan di lapangan, faktor-faktor identitas yang meliputi etnis dan agama
ini bercampur dengan konflik atas pendistribusian sumber daya seperti, wilayah,
kekuasaan ekonomi, prospek lapangan kerja dan seterusnya. Dalam kasus-kasus
dimana identitas dan isu distributif dibaurkan, menciptakan peluang kesempatan
bagi para oportunis untuk semakin mempertinggi eskalasi konflik. Inilah yang
tercermin dari pendapat sebagian responden sebesar 4% yang menyatakan bahwa
konflik di lima wilayah ini akibat ulah provokator.
Fenomena
dan Dampak Konflik
Realita
konflik di lapangan adalah munculnya kerusuhan, saling hasut-menghasut,
caci-maki, menyiksa, mencederai, memperkosa, membunuh secara sadis atau penuh
pertentangan bathin, membakar, merampas
hak milik orang lain, mengusir, penghilangan dokumen-dokumen penting, membakar,
dll. Konflik yang berkepanjangan selalu menyisakan ironi dan tragedi. Sebesar
15% responden menyatakan bahwa dampak
konflik adalah jatuhnya korban jiwa dalam jumlah besar, 11,4 % menyatakan
kehilangan pekerjaan, 11,6% menyatakan konflik telah membuat mereka yang
tadinya akur dan rukun terpaksa harus saling berkelahi karena perbedaan
identitas, bahkan 12,4% menyatakan bahwa
perkelahian dan konflik tersebut mengakibatkan putusnya hubungan kekeluargaan
diantara mereka yang secara kebetulan berbeda identitas etnis atau agama.
Kerugian materiil, berupa kerusakan sarana ibadah dan sarana pendidikan
masing-masing diutarakan oleh 9,8% dan 7,8% resoponden. Dampak terbesar dari
konflik yang membutuhkan perhatian dan penanganan serius, justru adalah pada
aspek psiko-sosial masyarakat. Yaitu sebesar 16,7% responden menyatakan konflik
telah membuat mereka selalu dihinggapi rasa takut dan merasa selalu tidak aman.
Akibatnya, diantara kelompok-kelompok masyarakat timbul rasa saling curiga dan
mengikis rasa keper cayaan diantara warga masyarakat (distrust), dinyatakan oleh 15% responden.
Cara Penanganan Konflik
Di
sinilah justru kelemahan dari upaya penanganan yang selama ini sudah dilakukan pemerintah.
Dimana pola penanganan konflik di tiap wilayah cenderung diseragamkan . Hal tersebut terlihat dari
respon masyarakat yang menyatakan bahwa upaya yang dilakukan pemerintah selain
memberikan bantuan fisik materiil, seperti sembako, atau tempat penampungan
hanya berkisar pada fasilitasi dialog (diutarakan oleh 46,3% responden),
penjagaan oleh aparat keamanan (34,4%) dan sosialisasi perdamaian (19,2%).
Dalam
konteks teori-teori penanganan konflik yang dikemukakan Bloomfield, Ben Rielly,
Charles Nupen, Pieter Haris yang telah dikutipkan terdahulu, maka respon
masyarakat di lima wilayah konflik terhadap cara penyeleaian konflik yang
mereka alami sungguh relevan dengan paradigma penanganan konflik mutakhir itu,
dimana sebagian besar responden 73,2% meny atakan agar penyelesaian konflik
dilakukan sendiri oleh masyarakat di masing-masing desa dengan melibatkan para
tokoh agama, adat, etnis dan berbagai pemuka dan komponen masyarakat yang
kompeten. Disusul kemudian 13% menginginkan agar penyelesaian konflik dilakukan
di rumah ibadah saja, dengan difasilitasi oleh para pemuka agama. Hanya 7,5%
saja yang menginginkan agar konflik diselesaikan di kantor polisi serta 5,7%
saja yang menyatakan agar diselesaikan di pengadilan.
Untuk
mempercepat proses penanganan konflik tersebut, maka warga masyarakat daerah
konflik mengusulkan agar masing-masing pihak bisa lebih mengembangkan sikap
saling menghargai, diutarakan oleh 27,6% responden. Selain itu juga harus
dikembangkan sikap tenggang rasa (18,5%), bersedia untuk berbaur dan tidak
mengelompok secara eksklusif (16,6%), serta mau bergotong (15,5%).
Modal Sosial yang Dimiliki
Data yang dihimpun peneliti menunjukkan bahwa
masyarakat di lima wilayah konflik umumnya masih memilki modal sosial yang
cukup memadai untuk mengelola konflik mereka. Karena umumnya mereka, 16,9 %
menganggap perlunya saling pengertian, 14,5% menyatakan agar
masing-masing kelompok etnis/agama harus saling menghormati, 8,8% memandang
saling menolong masih menjadi modal
sosial yang dimiliki. Data-data tersebut diperkuat oleh berbagai sikap
masyarakat yang mencerminkan keterbukaan dan kesediaan mereka untuk lebih erat
melakukan interaksi sosial dan budaya. Dalam masalah perkawinan antar suku
(termasuk suku yang bertikai) misalnya, 83,8% menyatakan setuju. Demikian juga
dalam hal penataan rumah antar warga yang bertikai, umu mnya (72,1%) tidak
menyetujui jika dipisahkan secara diametral sesuai dengan suku/agama
masing-masing, karena hal tersebut justru akan semakin memperdalam jurang
perbedaan diantara mereka. Demikian pula halnya dengan penyediaan sekolah
khusus untuk penganut agama/suku tertentu, sebanyak 67,9% menyatakan
keberatannya. Intinya, mereka sesungguhnya tidak pernah menginginkan terjadinya
pemisahan dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan publik (umum).
KRITIK
TEORITIS
a)
Ketepatan Hipotesis
Berdasarkan temuan dilapangan dengan hipotesis yang
diungkapkan umumnya terbukti. Kerusuhan
Sambas dan Sampit dinyatakan lebih pada perilaku salah satu etnis pendatang yang kurang
bisa menyesuaikan diri (adjustment)
terhadap budaya dominan dalam keseharianan maupun dalam upaya pemilikan. Kerusuhan Ambon, Ternate dan Poso lebih
pada persaingan peluang menguasai pasar. Sambas dan Sampit tentang pemilikan
lahan pertanian, perkebunan serta bisnis di satu sisi, keinginan untuk
mensiasati kekuatan sesuatu agama di sisi lain, perebutan kekuasaan eksekutif
di satu dimensi. Keterlambatan koordinasi dan penghimpunan pelbagai sumberdaya oleh pihak
eksekutif, legislatif, judikatif dan hankam dalam mencegah perluasan konflik,
menengarai kerusuhan yang sedang terjadi serta mengatasi dampak kerusuhan dari
konflik. Terjadinya pemihakan aparat pemerintah dan keamanan yang se-kerabat,
se-etnis dan se-agama dengan pihak-pihak yang bertikai. Termasuk upaya sebahagian
aparat keamanan melakukan tindak an anarkis yang semakin memicu kerusuhan
lintas etnis dan agama. Tidak kurang pentingnya adalah adanya data yang
menunjukan upaya orang-orang tertentu melalui komunikasi di tempat-tempat
tertentu (kedai kopi, pasar, pertandangan, berbagai kesempatan pertemuan)
meyakinkan rakyat bahwa masa rezim Orde Baru adalah pemerintahan yang sangat
baik dan fase reformasi adalah pemerintahan yang kacau. Di sisi lain nampaknya
konflik yang berdampak kerusuhan ini merupakan bahagian dari skenario
konspirasi besar pihak-pihak luar negeri untuk menghancurkan tatanan bangsa ini
dari segi keutuhan (kohesi), stabilitas ekonomi dan pembenturan rakyat dengan
TNI-Birokrasi. Ini terlihat juga dari yel-yel yang dielu-elukan pihak-pihak
yang berkonflik khususnya di Ambon, Ternate dan Poso, antara lain Hidup Amerika!, Hidup
Australia!, Hidup Belanda!.
b)
Teori Temuan
Berlakunya
teori fungsional dari
Talcott Parson karena konflik yang terjadi selama ini karena longgarnya ikatan system-sistem
yang ada. Ada
4 komponen yang sudah longgar di wilayah rusuh: (1). Nilai-nilai dasar yang
dianut masing-masing warga etnis, tidak proporsional memasuki kebudayaan; (2).
Status dan hak pribadi tidak terjamin;
(3). Prestise dijatuhkan; (4). Pemilikan dan pencaharian tidak terjamin.
Teori integrasi
beresensi kohesi sosial tidak terjamin di lapangan penelitian karena: pertama,
tidak diupayakan proporsi yang cukup dari setiap komponen aktor-aktor bisa
bertindak sesuai dengan syarat-syarat keutuhan; kedua, Pembiaran pola-pola
kebudayaan yang salah satunya gagal dalam menemukan suatu tata tertib yang
minimal dan dengan permisif itu menimbulkan penyimpangan dan pertentangan Teori Malinowski tentang
konflik akan terjadi jika dari berbagai pihak yang dipertemukan dalam satu wilayah
kehidupan tidak dilandasi secara kuat oleh keuntungan timbal balik recipro city dibawah prinsip-rinsip legal. Dari temuan menunjukkan
kebenaran ini, karena prinsip reciprositas dan legalitas hampir tidak jelas
fungsinya. Model Kebudayaan Dominan yang dikembangkan Edwar Bruner dan
digunakan Parsudi Suparlan menganalisis kasus-kasus Bandung, Ambon dan
Sambas. Dinyatakannya: Adanya
perbedaan dalam strategi beradaptasi orang Jawa di Bandung dengan strategi adaptasi orang Buton, Bugis dan
Makassar (BBM) di Ambon, serta orang Madura di Sambas memperlihatkan mengapa konflik-konflik dapat
muncul di kedua daerah terakhir. Dengan kata lain, aturan-aturan dalam
kehidupan sosial yang bersumber pada kebudayaan dominan masyarakat setempat
tidak diikuti oleh para pendatang dari Buton, Bugis, Makassar dan Madura.
Teori ini juga
menunjukkan kebenarannya. Berarti
proposisi yang diiringi premis-premis
pendukung teori Talcott Parson, Malinowski serta Edwar Bruner yang diperkuat
Parsudi Suparlan, terbukti di wilayah penelitian sekalipun proporsinya tidak
terlalu berimbang untuk setiap wilayah. Akan tetapi kelemahan teori-teori ini
seolah-olah memperlihatkan kedinamisan ide dan aktivitas masing-masing etnis
dan agama di masing-masing lokal saja secara horizontal dan vertikal yang
menyulut konflik. Padahal di seluruh wilayah penelitian keadaan itu hanya
bersifat laten dan labil. Sementara yang berperan adalah
pihak provokasi politisi yang menyentuh wilayah pemerintahan dan keamanan,
pihak luar baik masih dari dalam negeri maupun pihak asing.
KESIMPULAN
Konflik yang terjadi yang berwujud wilayah rusuh di
Indonesia merupakan akumulasi dari kerapuhan persatuan dan kesatuan warga
masyarakat heterogen dalam satuan-satuan wilayah kebudayaan dengan kepentingan
konspirasi kelompok-kelompok tertentu di dalam negeri serta pihak asing.
Kepentingan itu dilaterbelakangi tujuan politik, ekonomi dan agama. Upaya itu
tidak mencapai sasaran puncak karena ditingkat elit dan pelaksana pihak
keamanan dan birokrasi mayoritas masih komit dengan negara kesatuan sehingga
serius memperkecil zona konflik dan kefatalan pelbagai dampaknya. Masyarakat
dari berbagai suku dan agama juga tidak memiliki basic yang kuat memasuki kancah konflik bahkan sebaliknya dari
semula sudah terbiasa hidup rukun dan damai dalam pelbagai perbedaan. Namun
begitu karena masyarakat telah semakin berpendidikan dan cerdas, ditambah
dengan nuansa reformasi secara mencuatnya konsep HAM, mereka menginginkan agar
pelbagai pihak yang terkait dengan pembangunan kehidupan mereka, seyogyanya
mengikutsertakannya dalam merancang program itu sehingga sesuai sasaran.
DAFTAR PUSTAKA
Azyumardi Azra
(Editor) .1998. Agama Dalam Keragaman
Etnik Di Indonesia. Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Agama Departemen
Agama RI.
Achmadi Jayaputra dan
Setyo Sumarno. 2000. Permasalahan Sosial Korban Kerusuhan Di Propinsi Sumawesi Tenggara,
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial Badan
Kesejahteraan Sosial Nasional
Bohm, RP. C.J.
Fatlolon, Dkn Costan, Fr. Pr (Ed.). 2002 Lintasan Peristiwa Kerusuhan Maluku tahun
1999-2002, Ambon: Keuskupan Amboina.
Coser, Lewis A. and
Rosenberg, Bernard. 1976. Sociological
Theory (Fourth Edition). USA: Macmillan Publishing Co., Inc.
Chambers, Robert.
1983. Rural Development: Putting the
Last First. London: Longman Inc.
Dahrendorf, Ralf.
1986. Konflik Dan Konflik Dalam
Masyarakat Industri (Sebuah Analisa Kritik). Terjemahan Ali Mandan dari
judul aslinya: Class and Class Conflict in Industrial Society. Jakarta:
Penerbit CV. Rajawali
Depsos RI 1995 Pembangunan Kesejahteraan Sosial Di
Indonesia. Jakarta: Terbitan Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesejahteraan
Sosial Depsos RI.
Effendi Johan, dkk.
1999 Sistem Siaga Dini (Untuk Kerusuhan
Sosial). Jakarta: Terbitan Balitbang Agama Depag RI dan Pusat Pengkajian Islam
dan Masyarakat (PPIM) IAIN Jakarta
Parsons, Talcott, 1986 Fungsionalisme Imperatrif (Ringkasan Soerjono
Soekanto). Jakarta: Penerbit CV. Rajawali
Rusmin Tumanggor, Dkk.
2000. Kerukunan Hidup Dalam Konsepsi
Berbagai Etnis Di DKI Jakarta.
Jakarta: Hasil Penelitian LEMLIT IAIN Syahid Kerjasama dengan Bakor
Bappeda DKI Jakarta..
Suparlan, Parsudi
1999 Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan
Dominan dan Kesukubangsaan. Jakarta: (Jurnal Antropologi Indonesis Th. XXIII,
No. 58 Januari-April 1999).
The
Causes of the Korean War, 1950-1953
Ohn
Chang-Il
Korea
Military Academy
LATAR
BELAKANG
Penyebab
terjadinya konflik antara korea utara dan selatan dapat diperiksa dalam dua kategori, ideologi dan politik. Ideologis,
pihak komunis, termasuk Uni Soviet, Cina, dan
Korea Utara, yang diinginkan untuk mengamankan semenanjung Korea dan
menggabungkannya dalam blok komunis. Politik, Uni Soviet dianggap
semenanjung Korea dalam terang Polandia di Eropa
Timur-sebagai batu loncatan untuk menyerang Rusia dan menyatakan bahwa pemerintah
Korea harus "setia" ke Uni Soviet. Karena postur ini kebijakan dan strategis, pemerintah militer Soviet di Korea
Utara (1945-1948) menolak setiap gagasan untuk mendirikan satu Korea pemerintah
di bawah bimbingan Perserikatan Bangsa-Bangsa. perang
ini juga sering disebut The Forgotten War ("perang yang
terlupakan") dan The Unknown War ("perang yang tidak
diketahui"). Amerika Serikat dan Soviet membuat perjanjian untuk membagi
Korea menjadi dua, tanpa melibatkan pihak Korea. Sekutu secara sepihak
memutuskan untuk membagi Korea tanpa melakukan konsultasi dengan pihak Korea
sendiri.
Karena Korea Utara menyerang Korea Selatan dengan keyakinan
bahwa mereka dapat memenangkan perang dan Komunis seluruh Semenanjung
korea. kepercayaan Korea Utara untuk memenangkan
pertempuran melawan Selatan tidak didasarkan pada harapan tapi pada keyakinan
yang tinggi bahwa Utara pasukan Korea mampu mengamankan kemenangan mudah dalam
perang. Bahkan, Korea Utara pasukan jauh lebih unggul dengan mereka yang
Selatan di semua mungkin kategori kemampuan
pertempuran dan kemampuan. Mereka bersenjata
lengkap dengan senjata berat dan peralatan dipasok oleh Soviet Uni, juga
dilatih oleh bijaksana bimbingan pendidikan militer Soviet dan pelatihan
penasihat, sangat diperkuat dengan tentara Korea dan memerangi kepemimpinan, baik matang dalam Perang Saudara Cina
(1927-1949) periode, dan diberi terkoordinasi melawan rencana disusun
oleh Soviet militer perang-perencanaan penasihat. Setelah
dinilai dari fakta-fakta, Utara Korea dan sponsornya, Uni Soviet dan Komunis
Cina, mengantisipasi kemenangan mudah atas Korea Selatan, dengan
ketentuan bahwa Amerika Serikat
tidak campur tangan dengan pasukan korea selatan.
RUMUSAN
MASALAH
1. Mengapa Korea menjadi negara yang terpecah ?
2. Apa peran Amerika Serikat dan Uni Soviet bermain di kursus
memiliki dua Korea pemerintah yang didirikan di Korea, dan, dengan asumsi bahwa
kedua bagian Korea adalah sama di
hampir semua arena termasuk militer setelah Perang Pasifik (1941-1945)?
METODE PENELITIAN
Berdasarkan jurnal yang
bersangkutan, pengambilan data dilakukan dengan melihat bukti-bukti terkait/
studi dokumen berupa telegram-telegram, memo, Artikel New York Times,
Arsip-arsip rahasia Uni Soviet yang tidak dipublikasikan, Laporan-laporan Kim
lI sung ketika kunjungan ke Uni Soviet.
HASIL PENELITIAN
Dari studi dokumen yang
dicari oleh peneliti memang dapat dibuktikan dengan telegram-telegram atau
pesan-pesan yang dikirimkan oleh pihak korea selatan ke korea utara ataupun
sebaliknya pesan atau telegram yang dikirimkan pihak korea utara ke korea
selatan ataupun ke pihak-pihak lainnya yang berkaitan. Dari sini dapat
dibuktikan bahwa ada kaitannya perang dingin dengan penyebab ataupun
pengaruhnya dengan korea selatan dan utara.
Setelah
berjuang selama satu tahun, kedua belah pihak dibebaskan pada pandangan bahwa Korea masalah terlalu kompleks untuk diselesaikan
dengan cara militer saja. Hasilnya adalah gencatan senjata terhormat,
kedua belah pihak masih meninggalkan masih meninggalkan permasalahan yang belum
tuntas hingga sekarang, menghasilkan dua
pemenang, bukan satu pemenang dan pecundang lainnya. Kesimpulan dari perang
dengan cara ini, gencatan senjata-bukan perdamaian,
sebenarnya mengatur beberapa tahap pada perang di Korea semenanjung,
yaitu, perang subversif, menggunakan semua jenis kekerasan dan damai tampaknya
menjadi cara dan sarana, khususnya
dengan Korea Utara. Korea Utara, setelah gagal Komunis Korea dengan cara
militer, setelah terlibat dalam perang subversive melawan Korea Selatan. Dalam
rangka untuk menggulingkan pemerintah Korea
Selatan dengan memobilisasi semua tersedia destruktif dan mengganggu,
menipu dan langkah-langkah licik dan berarti
pasca periode Perang Dingin. Dalam hal ini, Perang Korea tidak
benar-benar berakhir. Penyebab mendasar dari Perang Korea masih lingers di
semenanjung Korea, peternakan insiden seperti tenggelamnya kapal patroli
Cheonan pada tanggal 26 Maret 2010. Tidak
diragukan lainnya asimetris serangan terhadap Korea Selatan pada dan di
bawah tanah, di laut dan di udara, akan terjadi di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
SWNCC Meeting Minutes, August 12, 1945,
in Foreign Relations of the United States [hereafter, FRUS],
1945, vol. 6, p. 645; Memo by Dean Rusk, July 12, 1950, FRUS, 1945, vol.
6, p. 1039; James F. Schnabel, Policy and Direction: The First Year (Washington,
D. C.: Government Printing Office, 1972), pp. 8-9.
Memo from the Secretary of the JCS to
the SWNCC, August 14, 1945, SWNCC 21-Series, Record Group (RG) 319, ABC 014
Japan (13 April 1944), sec., 1-A, National Archives (NA), Washington, D. C.
Stalin to
Truman, telegram, August 16, 1945, enclosed in Memo, From Admiral Leahy to
General Marshall, April 29, 1947, RG 59, 740.00119 Control (Japan)/4-2947, NA.
President Truman sent this approved General Order No. 1 to the British Prime
Minister on August 15, 1945. See Byrnes to Winant, August 16, 1945, RG 59,
740.00119 Pacific War/8-1645, NA.
Soviet Top Secret Documents Relating to
the Korean War, 3, pp. 6-10; Stalin’s conversation with
the DPRK’s government delegation headed by Kim Il-sung, March 5, 1949, quoted
in Bajanov and Bajanova, The Korean Conflict, 1950-1953, pp. 4-6.
Tunkin’s cable to the Kremlin, September
14, 1949, Archives of the President of Russia, pp. 1-8, quoted ibid., pp. 23-4.
Austin to Secretary of State, February
24, 1948, FRUS, 1948, vol. 6, pp. 1128-29; New York Times,
February 20, 25, 27, 1948.
IMPLICATIONS OF THE
DEMOCRACY-DEVELOPMENT RELATIONSHIP FOR CONFLICT RESOLUTION
Dirk Kotzé
LATAR BELAKANG
Penelitian ini menunjukkan bahwa sehubungan dengan rezim
demokrasi, pembangunan ekonomi adalah yang lebih penting daripada faktor
variabel warisan politik, agama atau bahasa.
pertumbuhan yang tinggi dan hilangnya penghasilan pribadi berpotensi sebagai
ancaman demokratis terhadap konsolidasi dan stabilitas, dan distribusi
pendapatan egaliter kondusif untuk daya tahan demokratis. Data dari
negara-negara Afrika yang digunakan untuk menguji kesimpulan umum ini. Data ini
memenuhi syarat hubungan antara pertumbuhan dan demokrasi, dan menggeser fokus
lebih kepada dampak sosial dari seiring berjalannya pertumbuhan pendapatan per
seorangan.dan pertumbuhan pembangunan manusia lebih rendah dari pemberitahuan
tentang hubungan demokrasi itu sendiri.
Ideologi adalah
penyebab konflik sementara dalam demokrasi, ada pandangan yang menyatakan bahwa
demokrasi bukanlah jaminan terhadap adanya konflik. Disisi lain demokrasi tidak
saling berhubungan satu sama lain terhadap konflik, ada hal lain yang
menyebbkan konflik salah satunya adalah factor social-ekonomi, pembangunan
sosio-ekonomi dianggap
berupa katalis untuk demokratis, atau konsekuensi dari demokratis.. Dan dalam
konteks ‘'Deklarasi Demokrasi, Pemerintahan Politik, Ekonomi’ uni afrika dan
kementriannya untuk pemerintahan yang baru untuk Afrika bekerjasama dengan
Paket Bank Dunia mmbicarakan tentang persyaratan seperti konsep tata
pemerintahan yang baik dan demokratisasi multi-partai, serta penyesuaian
struktur ekonomi. Dalam
pandangannya,terhadap penyesuaian struktural, atau pengentasan kemiskinan.
Sebagai strategi analisis konflik untuk yang terkena dampak kemiskinan dapat
berfungsi sebagai cetak biru dalam sosio-ekonomi.
Sebuah Negara predaktor atau suatu negara tanpa kapasitas
kelembagaan yang diperlukan seringkali menjadi penyebab konflik. Pandangan
tentang keadaan benar dilembagakan menjadi fokus Dunia Bank Dunia Laporan
Pembangunan, Negara di Dunia yang Berubah, pada tahun 1997. Banyak penelitian
telah dilakukan tentang hubungan antara demokrasi dan pembangunan yang serupa
dengan penelitian tentang hubungan antara demokrasi dan pembangunan di satu
sisi, dan resolusi konflik di sisi lain, tidak begitu tersedia. Contoh,
terkenal praktis dimana tiga serangkai ini korelasi yang dianut, adalah
pandangan Swedia Pembangunan Internasional Cooperation Agency (SIDA) pada bantuan kemanusiaan. Salah satu dokumen
menyatakan kebijakan (SIDA 1999:1):
Program kerjasama pembangunan dapat berkontribusi mencegah konflik bersenjata
sebelum mereka keluar dengan bantuan target proyek pembangunan, program untuk
penguatan demokrasi dan hak asasi manusia, program kerjasama regional dan
mendukung komunikasi antara pihak yang bermusuhan. Dalam hal ini adalah untuk berkonsentrasi terlebih
dahulu pada resolusi konflik sebagai Konsep - khususnya berbagai pendekatan
yang digunakan, bagaimana mereka mendefinisikan esensi konflik dan apakah
demokrasi pengembangan memiliki fungsi mana saja di mereka. Selanjutnya kita
meringkas penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan antara demokrasi dan
pembangunan. Akhirnya, kita mengintegrasikan analisis kami resolusi konflik
dalam penelitian pada demokrasi
pengembangan dan menyelidiki logis mungkin korelasi antara mereka.
Penelitian ini tidak mencakup investigasi empiris korelasi mungkin antara
resolusi konflik dan demokrasi pembangunan. Atas dasar kesimpulan ini
kualitatif empiris studi dapat mengikuti kemudian.
METODE PENELITIAN
- Behaviouralist dan instrumentalis (pendekatan strukturalis)
- Para instrumentalis dan pendekatan intrinsik
CARA
PENGUJIAN
Data dari negara-negara Afrika
digunakan untuk menguji kesimpulan umum
LANGKAH
PENGUJIAN
- Sifat resolusi konflik diteliti
- Hubungan antara demokrasi dan pembangunan ekonomi diselidiki
- Sifat demokrasi dianalisa untuk menentukan bagaimana pembangunan dan resolusi konflik dapat ditampung ke dalam komposisi
HIPOTESIS
- Demokratisasi secara langsung dan positif berkorelasi dengan resolusi konflik atau pencegahan
- Pembangunan sosial-ekonomi secara langsung dan positif berkorelasi dengan demokrasi
- Demokratisasi dan pembangunan sosial-ekonomi memberikan dasar struktural pas untuk menyelesaikan dan mencegah konflik
HASIL PENELITIAN
1. Demokratisasi (termasuk tata
pemerintahan yang baik) secara langsung dan positif berkorelasi dengan resolusi
konflik atau pencegahan. Kesimpulan
dalam hal ini adalah demokrasi yang bukan merupakan konsep generik dan
tergantung pada berbagai persepsi publik. Akar penyebab konflik harus dapat
sejalan dengan khusus pemahaman demokrasi dalam lingkungan tertentu. Jika akar
penyebab adalah tentang diskriminasi politik, tidak adanya kontrak sosial atau
pelanggaran hak asasi manusia, sedangkan pemahaman dominan demokrasi adalah
prosedural di alam, maka hubungan yang positif dan langsung antara
demokratisasi dan resolusi konflik adalah sangat mungkin. Jika akar penyebab adalah
tentang identitas hal-hal seperti agama atau asal (misalnya, tentang isi
Ivoirité di 6 Pantai Gading) dan demokrasi substantif terutama dalam isi, maka
demokrasi adalah kurang mungkin instrumen yang paling tepat untuk menyelesaikan
konflik. Oleh karena itu tepat untuk menyimpulkan bahwa hipotesis pertama
ditentukan oleh hubungan kontingen. Kesimpulan ini tidak secara langsung
berlaku untuk gagasan 'demokrasi damai': klaim bahwa negara demokratis tidak
terlibat dalam konflik dengan satu sama lain. 'Damai Demokratik lebih relevan
untuk menjaga perdamaian dengan cara diplomatik daripada untuk membuat
perdamaian.
2. Pembangunan sosial-ekonomi secara
langsung dan berhubungan positif dengan demokrasi. Penelitian menyimpulkan
bahwa rezim-rezim demokratis lebih sensitif terhadap ekonomi pembangunan
daripada terhadap dampak warisan politik mereka, agama atau etnolinguistik
keragaman atau lingkungan politik internasional. Pertumbuhan ekonomi negara
berkembang juga secara langsung dan positif berkorelasi kebebasan. Per kapita
penghasilan sangat berkorelasi dengan tingkat stabilitas demokrasi, dan
penurunan pendapatan di negara-negara berkembang meningkatkan kemungkinan
penurunan demokratis. Mengenai pertumbuhan sebagai variabel, semua studi kasus
tidak mendukung positif korelasi dengan pertumbuhan GNP riil per kapita, tetapi
menunjukkan bahwa laju pertumbuhan dalam kaitannya dengan tingkat perekonomian
pembangunan secara keseluruhan diperhitungkan. Pertumbuhan riil yang relatif
rendah tetapi dengan besar, dampak yang nyata pada ekonomi, dapat menyebabkan
lebih volatilitas dan ketidakstabilan demokratis dari pertumbuhan yang tinggi
dengan sedikit dampak sosial. Perubahan distribusi pendapatan yang terkait
dengan ekonomi pertumbuhan dan egalitarianisme tidak mendaftar dampak yang
jelas pada demokrasi stabilitas, sehingga menyimpang dari kesimpulan penelitian
Moene & Wallerstein's. Indeks pembangunan manusia sebagai indikator
kualitas hidup yang lain variabel dengan tidak ada hubungan yang konsisten
dengan stabilitas demokratis. Oleh karena itu, contoh Afrika mempertanyakan
validitas korelasi teoritis antara demokrasi dan pembangunan ekonomi.
3. Demokratisasi dan pembangunan
sosial-ekonomi memberikan dasar struktur yang diperlukan untuk menyelesaikan
konflik yang mengakar atau untuk mencegah konflik. Kesimpulan tentang hipotesis
kedua pertanyaan korelasi yang konsisten antara demokrasi dan pembangunan. Oleh
karena itu, fungsi mereka saling mendukung sebagai alat untuk menyelesaikan
konflik adalah inheren dipertanyakan.
KESIMPULAN
Rezim demokratis durabilitas lebih sensitif terhadap
perubahan dalam indikator pembangunan (seperti pertumbuhan, volatilitas atau
distribusi pendapatan) dari pada daya tahan rezim non-demokratis. Ekonomi
faktor pembangunan juga tidak katalis untuk demokratisasi.
Kesimpulan keseluruhan adalah bahwa baik demokratisasi
maupun ekonomi pembangunan, atau kombinasi dari mereka dapat diterapkan dalam
semua keadaan untuk resolusi konflik.
DAFTAR PUSTAKA
Bratton,
Michael & Mattes, Robert 2001. Support for democracy in Africa: intrinsic
or instrumental? British Journal of Political Science. Vol.31 part
3(July).
Brown,
Michael E., Lynn-Jones, Sean M. & Miller, Steven E. (eds.) 1996. Debating
the Democratic Peace. Cambridge, Mass: The MIT Press.
Deng,
Francis M. & Zartman, I. William (eds.) 1991. Conflict Resolution in
Africa. Washington, DC: Brookings Institution.
Mattes,
Robert, Davids, Yul Derek & Africa, Cherrel. 2000. Views of Democracy in
South Africa and the Region: Trends and Comparisons. The Afrobarometer series,
No.2. Rondebosch: IDASA for the Southern African Democracy Barometer.
Ohlson,
Thomas 1998. Power Politics and Peace Politics: Intra-state Conflict
Resolution in Southern Africa. Uppsala: Department of Peace and Conflict
Research, Uppsala University.
Quinn,
Dennis P. & Woolley, John T. 2001. Democracy and national economic
performance: the preference for stability. American Journal of Political
Science. 45(3) (July).
Sandole,
Dennis J.D. & Van der Merwe, Hugo (eds.) 1993. Conflict Resolution
Theory and Practice: Integration and Application. Manchester & New
York: Manchester University Press.
SIDA
1999. Strategy for conflict management and peace-building. Stockholm: SIDA
(Division for Humanitarian Assistance).
Turkish
Daily News (‘‘PM Erdogan says it takes time for
economy to digest reforms’), 9 May 2005
(http://www.turkishdailynews.com.tr/article.php?enewsid=12806).
iya sama-sama, berbagi ilmu, semoga bermanfaat ya :)
ReplyDelete