Emosi, Penyesuaian Sosial dan Kepribadian Anak Tunagrahita (Retardasi Mental)
Perkembangan dorongan (drive) dan emosi berkaitan dengan derajat ketunagrahitaan seorang anak. Anak tunagrahita berat tidak dapat menunjukkan dorongan pemeliharaan dirinya sendiri. Mereka tidak bisa menunjukkan rasa lapar atau haus dan tidak dapat menghindari bahaya. Pada anak tunagrahita sedang, dorongan berkembang lebih baik tetapi kehidupan emosinya terbatas pada emosi-emosi yang sederhana.
Pada anak terbelakang ringan, kehidupan emosinya tidak jauh berbeda dengan anak normal, akan tetapi tidak sekaya anak normal. Anak tunagrahita dapat memperlihatkan kesedihan tetapi sukar untuk menggambarkan suasana terharu. Mereka bisa mengekspresikan kegembiraan tetapi sulit mengungkapkan kekaguman.
Dalam kepribadian tercakup susunan fisik, karakter emosi, serta karakteristik sosial seseorang. Di dalamnya juga tercakup cara-cara memberikan respon terhadap rangsangan yang datangnya dari dalam maupun dari luar, baik rangsangan fisik maupun rangsangan social. Apakah anak tunagrahita memiliki karakteristik khusus dalam kepribadiannya?
Dari penelitian yang dilakukan oleh Mc Iver dengan menggunakan Children’s Personality Questionare ternyata anak-anak tunagrahita mempunyai beberapa kekurangan berupa tidak matangnya emosi, depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat dipercaya, impulsive, lancang, dan merusak. Anak tunagrahita wanita mudah dipengaruhi, kurang tabah, ceroboh, kurang dapat menahan diri, dan cenderung melanggar ketentuan. Dalam hal lain, anak tunagrahita sama dengan anak normal. Kekurangan-kekurangan dalam kepribadian akan berakibat pada proses penyesuaian diri.
Penyesuaian diri merupakan proses psikologi yang terjadi ketika kita menghadapi berbagai situasi. Seperti anak normal, anak tunagrahita akan menghayati suatu emosi, jika kebutuhannya terhalangi. Emosi-emosi yang positif adalh cinta, girang, dan simpatik. Emosi-emosi ini tampak pada anak tunagrahita yang masih muda terhadap peristiwa-peristiwa yang bersifat konkret. Jika lingkungan bersifat positif terhadapnya maka mereka akan lebih mampu menunjukkan emosi-emosi yang positif itu. Emosi-emosi yang negatif adalah perasaan takut, giris, marah, dan benci. Anak terbelakang yang masih muda akan merasa takut terhadap hal-hal yang berkenaan dengan hubungan sosial.
Dalam tingkah laku sosial, tercakup hal-hal seperti keterikatan dan ketergantungan, hubungan kesebayaan, self concept, dan tingkah laku moral. Yang dimaksud dengan tingkah laku keterikatan dan ketergantungan adalah kontak anak dengan orang dewasa (orang lain). Masalah keterikatan anak dan ketergantungan anak terbelakang telah diteliti oleh Zigler dan Steneman. Seperi halnya anak normal, anak tunagrahita yang masih muda mula-mula memiliki tingkah laku keterikatan kepada orang tua dan orang dewasa lainnya. Dengan bertambahnya umur, keterikatan ini dialihkan kepada teman sebaya. Ketika anak merasa takut, giris, tegang, dan kehilangan orang yang menjadi tempat bergantung, kecenderungan ketergantungannya bertambah. Berbeda dengan anak normal, anak tunagrahita lebih banyak bergantung pada orang lain, dan kurang terpengaruh oleh bantuan sosial.
Dalam hubungan kesebayaan, seperti halnya anak kecil, anak tunagrahita menolak anak yang lain. Tetapi setelah bertambah umur mereka mengadakan kontak dan melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat kerja sama. Berbeda dengan anak normal, anak tunagrahita jarang diterima, sering ditolak oleh kelompok, serta jarang menyadari posisi diri dalam kelompok.
tq infonya..
ReplyDeletebtw sumbernya/dftar pustakanya dr mana?
coz pnting bgt..
*fitri..psi.unisba
Somantri, Sutjihati. (2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung : PT. Refika Aditama
ReplyDeletesalamm kenal fitri :)