Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita
Supples menjelaskan bahwa kognisi merupakan bidang yang luas yang meliputi semua keterampilan akademik yang berhubungan dengan wilayah persepsi. Messen, Conger, dan Kagan menjelaskan bahwa kognisi paling sedikit terdiri dari lima proses, yaitu (1) persepsi, (2) memori, (3) pemunculan ide-ide, (4) evaluasi, (5) penalaran. Proses-proses itu meliputi sejumlah unit yaitu skema, gambaran, simbol, konsep, dan kaidah-kaidah. Para peneliti bidang ini tertarik pada perubahan urutan proses kognitif yang dihubungkan dengan umur dan pengalaman. Ahli-ahli psikologi perkembangan berusaha untuk memahami mekanisme perubahan kognitif pada berbagai perkembangan kognitif.
Ternyata kognisi adalah bidang yang luas dan beragam, peneliti tidak dapat memusatkan pada satu proses kognitif dalam rentang umur tertentu. Adakah hubungan antara kognitif dengan intelegensi? Anak terbelakang menunjukkan defisit dalam perolehan pengetahuan seperti yang digambarkan dalam situasi tes. Kognisi meliputi proses di mana pengetahuan itu diperoleh, disimpan, dan dimanfaatkan. Jika terjadi gangguan perkembangan intelektual maka akan tercermin pada satu atau beberapa proses kognitif seperti persepsi, memori, pemunculan ide-ide, evaluasi, dan penalaran.
Para ahli psikologi perkembangan umumnya beranggapan bahwa jika anak tunagrahita dibandingkan dengan anak normal yang mempunyai MA (mental age) sama secara teoretis akan memiliki tahap perkembangan kognitif yang sama. Hal ini didasarkan pada sebuah asumsi bahwa individu secara aktif mengkontruksikan struktur internalnya melalui interaksi dengan lingkungan.
Pendapat seperti itu tidak seluruhnya benar sebab ada beberapa penelitian yang membuktikan bahwa anak tunagrahita yang memilik MA yang sama dengan anak normal tidak memiliki keterampilan kognitif yang sama. Anak normal tetap memiliki keterampilan kognitif yang lebih unggul daripada anak tunagrahita. Anak normal memiliki kaidah dan strategi dalam memecahkan masalah, sedangkan anak tunagrahita bersifat trial dan error.
Dalam hal kecepatan belajar (learning rate), anak tunagrahita jauh ketinggalan oleh anak normal. Untuk mencapai kriteria-kriteria yang dicapai oleh anak normal, anak tunagrahita lebih banyak memerlukan ulangan tentang bahan tersebut. Dalam kaitannya dengan makna pelajaran, ternyata anak tunagrahita dapat mencapai prestasi lebih baik dalam tugas-tugas diskriminasi (misalnya mengumpulkan bentuk-bentuk yang berbeda, memisahkan pola-pola yang berbeda) jika mereka melakukannya dengan pengertian.
Berkenaan dengan memori, anak tunagrahita berbeda dengan anak normal pada short term memory. Anak tunagrahita tampaknya tidak berbeda dengan anak normal dalam long term memory, daya ingatnya sama dengan anak normal. Akan tetapi bukti-bukti menunjukkan anak tunagrahita berbeda dengan anak normal dalam hal mengingat yang segera (immediate memory).
Beberapa penjelasan tentang kekurangan anak tunagrahita pada ingatan jangka pendek dipahami dengan pendekatan konsep neuro-biologis. Spitz menetapkan teori kejenuhan corcital (Corcital Satiation Theory) terhadap anak tunagrahita. Spitz mengajukan sebuah hipotesis bahwa sel cortical (cortical cells ) anak tunagrahita lebih lambat dalam perubahan kimia, listrik, dan perubahan fisik. Perubahan-perubahan temporer yang terjadi pada sel cortical lebih sulit.
Fleksibilitas mental yang kurang pada anak tunagrahita mengakibatkan kesulitan dalam pengorganisasian bahan yang akan dipelajari. Oleh karena itu sukar bagi anak tunagrahita untuk menangkap informasi yang kompleks.
Comments
Post a Comment